Translate

Thursday, 20 October 2016

CERPEN "BANGKAI TIKUS TENGAH JALAN"

Bangkai Tikus Tengah Jalan
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Begitu menyenangkannya, ketika semua elemen dapat dengan sendirinya melek atas apa yang dilihatnya dan diketahuinya. Tapi dewasa ini tidak dipungkiri lagi bahwa harus ada yang mengevokasi terlebih dahulu, atau setidaknya dirinya sendiri yang akan melakukannya. Siapapun itu dan dimanapun itu. Selalu begitu dan tetap begitu.
            Aku baru saja selesai sarapan yang dibuatkan langsung oleh istriku.
            “Nikmat sekali makanan untuk sarapan ini, Bun. Masakan baru ya ?” kataku setelah menyantap sesendok terakhir sarapanku. “Kebetulan kemarin aku belajar dari Mbak Tanti, sekarang dia pandai memasak, Yah.” istriku membalas pertanyaanku. “Lho, kan dia tidak pandai memasak, Bun. Biasanya dia membeli makanan langsung dari warung Mak Jinah. Kok tiba-tiba bisa masak begitu ya ?” tanyaku dengan heran. “Suaminya yang mengajari dia memasak. Sekarang suaminya membuka warung makan setelah dia dipecat dari perusahaannya, Yah.” sahut istriku dengan nada meyakinkan. Ternyata suami dari Mbak Tanti, Mas Sigit, teman dekatku, dipecat dari perusahaan yang memberikan nafkah keluarganya sehari-hari. Padahal Mas Sigit yang kutahu adalah pribadi yang berdisplin tinggi dan berperangai baik kepada orang lain. Dan juga dia memiliki etos kerja yang menurut pengamatan ‘kacamataku’ sangat baik. Tapi mengapa perusahaan yang dia tempati memecatnya ? Apakah dia melakukan suatu kesalahan, sehingga memaksa perusahaan untuk memecat dia ? Atau mungkin perusahaan itu mengalami penurunan pendapatan secara besar, sehingga perusahaan harus memecat para karyawannya ? Entahlah, hanya perusahaan dan Tuhan saja yang tahu.
            Gantungan beserta kunci motor kuraih dari paku yang sengaja aku palu di dekat pintu kamarku, dan aku berpamitan kepada istri dan kedua anak kembarku yang baru berusia tiga tahun lebih 43 hari. Kukecup kening istri dan anak-anakku yang dapat memberikan semangat kerjaku di pagi yang agak mendung. Dari garasi yang bisa dibilang kecil dan sempit, kukeluarkan motor tahun ’90-an’-ku, sambil kupanaskan mesinnya agar tidak mogok ditengah perjalanan menuju tempat kerja. Aku rasa cukup untuk memanaskan motorku selama lima menit. Kutarik gas motorku secara halus, dan berjalanlah motorku menyusuri jalan. Saat di tengah-tengah perjalanan, aku sempat sekilas melihat sesuatu yang mungkin tak penting sama sekali, namun juga penting sama sekali untuk ditindaklanjuti.
            “Kutu kupret, menjijikkan sekali, seharusnya bangkai tikus itu disingkirkan dari tengah jalan” entah kenapa aku mengatakan seperti itu di dalam pikiranku.
            Aku berusaha menyalip kendaraan yang ada di depan, itu menghalangiku untuk menuju kantor. Dengan gas motor yang kutarik sedikit keras, aku menyalip sebuah mobil yang kutaksir dengan harga selangit, sekitar satu milyar kira-kira, lalu kubunyikan klakson motorku. “Woy, kalau jalan pakai hati dong ! Jangan cuma pakai otak !” emosiku meluap seketika, karena pengemudi mobil itu mengendarai mobilnya bak menunggangi sebuah banteng liar. Dia tidak merespon, hanya memandangiku dengan wajah yang tak terlalu kelihatan karena kaca mobilnya yang dilapisi film hitam. Entah apa maksud dan tujuan pemasangan kaca film warna hitam, padahal warna hitam atau gelap bisa menambah intensitas suhu panas, dan juga menghambat penglihatan saat mengendarai yang dapat menyebabkan kecelakaan.
            “Inilah yang namanya keberuntungan. Tidak ada hujan saat perjalanan ke kantor, dan tidak terlambat pula.”
            Turun dari motor, kulangkahkan kakiku ke kantor kerjaku. Di momen inilah aku agaknya merasa malas, tetapi keluarga di rumah mengingatkanku untuk aku bisa menghidupi mereka. Akhirnya kupaksa tubuh untuk menaiki tangga biasa, karena lift sedang dalam perbaikan. Padahal untuk perusahaan yang dibilang cukup terkenal, tetapi untuk memperbaiki lift saja butuh waktu yang lama. Kupikir-pikir sangat mudah bila hanya mendanai perbaikan lift rusak, bisa diperbaiki dalam waktu yang singkat.
            Ikan-ikan yang ada di kolam dekat taman kantor pun tak lupa kuberi pelet. Sudah lama aku merawat ikan-ikan ini sejak pertama aku diterima kerja di perusahaan ini. Dulu masih kecil-kecil, malah ada yang belum lahir. Sekarang hanya tinggal dua ekor saja dengan ukuran paling besar yang masih hidup hingga sekarang, 25 ekor ikan lainnya adalah hasil perkawinan dari dua ekor yang paling besar itu. Mereka semua tak pernah lupa untuk aku beri makan, atau setidaknya membersihkan dan menguras kandang mereka. Bisa dibilang ikan-ikan inilah yang menjadi saksi bagaimana selama ini aku bekerja di perusahaan ini, dan bagaimana perkembangan perusahaan ini dari tahun ke tahun.
            Teh dan kopi aku tuangkan ke dalam dua cangkir yang berbeda dari teko.
            Ibarat kisah di dongeng, aku menaiki sebuah istana tinggi nan megah di suatu kerajaan berlantai 20 dengan tangga biasa, karena lift sedang berada dalam perbaikan, sambil membawa nampan berisi teh, kopi, buah pisang dan apel, serta lima gorengan yang biasa bosku makan di pagi hari. Aku tak pernah terlambat ataupun lupa untuk membuatkannya. Pernah sekali, ketika suatu pagi aku tidak membuatkan sarapan untuk bosku, karena istriku sedang mengalami kontraksi saat hamil. Terpaksa aku tidak jadi berangkat ke kantor, namun mengantarkan istri ke rumah sakit dekat pasar di desaku, yang juga jauh dari kantorku. Tetapi bosku memaklumiku untuk tidak masuk ke kantor satu hari mengurus istriku yang akan segera melahirkan. “Terima kasih bos telah mengizinkan saya untuk tidak masuk.” aku berkata via telepon di ruang tunggu rumah sakit. “Tidak apa-apa, aku akan menyuruh yang lain untuk menggantikanmu sementara. Semoga istrimu melahirkan anak dengan selamat dan lancar ya, dan anakmu bisa lahir dengan normal dan sehat.” balas bosku dengan ekspresi yang bisa kutebak walaupun via telepon. “Amin. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih bos.”
            Kusapu dan kubersihkan lantai, dari lantai satu, atau biasa orang-orang menyebutnya dengan ruang loby, sampai lantai lima. Lantai 15 sisanya dibersihkan oleh empat Office Boy (OB) yang lain. Mereka semua adalah teman kerjaku, satu diantaranya masih pekerja baru dan masih muda. Nama-namanya yaitu Kusnandar, Rinda, Mas Agus, dan yang baru bernama Andi. Keempat OB ini sama sekali tidak ada yang malas-malasan. Semuanya memiliki etos kerja yang baik. Yang paling tua di antara kami berlima adalah Mas Agus. Dia bekerja di perusahaan ini empat tahun lebih awal dariku. Pengalamannya juga lebih banyak dariku, bahkan aku sering belajar sesuatu dengan dia, entah itu masalah yang ada di tempat kerja maupun masalah kehidupan sehari-hari. Aku juga sering meminta saran dan curhatan dari dia.
            “Untuk membeli peralatan bayi yang murah di mana ya mas ?” tanyaku kepada Mas Agus.
            “Sebelah pasar, Yud. Di sana ada toko yang menjual perlengkapan bayi. Mosok toko dekat pasar saja kamu tidak tahu ? Apa perlu aku namai toko itu dengan nama ‘Toko Yudi’?” sambil bercanda dia menjawab pertanyaanku dengan ramah.
            Tepat pukul lima, bel perusahaan berbunyi dengan suara lantang, yang menandakan akhir kerja di hari itu. “Menyenangkan sekali hari ini, walaupun aku sangat capek.” itulah kira-kira kata-kata yang ada di dalam pikiranku setelah seharian penuh bekerja. Kuambil motorku di parkiran dan menuju pulang ke rumah untuk menemui istri dan anak-anakku.
            Empat hari berlalu, saat aku sampai di tempat kerjaku, ada suasana yang tidak biasa. Ada orang-orang, termasuk bosku yang biasanya lebih awal aku daripada dia, sedang lalu lalang mengangkut sesuatu yang kelihatannya barang canggih, berbentuk seperti robot. “Kok tidak seperti biasanya ya ?” pikirku. Aku mencoba menyalami sekaligus bertanya kepada bosku tentang apa yang sedang terjadi.
            “Nuwun sewu bos, ini ada apa ya ? Ada barang baru ya bos ? Tapi kok banyak sekali jumlahnya ?” kutanya bos setelah aku menyalaminya.
            “Gini, ada yang ingin kubicarakan padamu, Yudi” jawabnya dengan ekspresi yang sangat serius kali ini dan membuatku penasaran.
            Aku langsung protes seketika, setelah bosku menjelaskan bahwa dia memecatku. Emosiku sempat meluap, tetapi petugas keamanan langsung menyeretku menjauh dari yang sekarang menjadi mantan bosku. Apa yang salah denganku ? Apakah aku melakukan kesalahan, sehingga aku harus dipecat ? Apakah aku pernah menyakiti perasaan bosku ? Sampai-sampai aku mau menabrak seseorang ketika perjalanan pulang karena hal ini. Lalu bagaimana harus kuceritakan kepada istriku masalah ini ? Bagaimana pula nasib kehidupan keluargaku ? Lantas, di mana lagi aku harus bekerja ?
            Hal yang kualami ternyata dialami oleh rekan-rekan OB yang ada di perusahaan itu. Mereka semua dipecat. Aku terheran-heran, kukira hanya aku yang dipecat, namun semua OB juga dipecat. Aneh saja, ketika tiba-tiba hari itu bos langsung memecat semua OB. Kusnandar, Rinda, Mas Agus, dan juga Andi juga punya kehidupan dan keluarga di rumah. Dari mana mereka akan mendapatkan penghasilan ? Lha wong perusahaan juga tidak memberi solusi untuk bekerja di mana setelah ini, apalagi memberi uang pesangon setelah dipecat begitu saja. Rekan-rekan OB dan aku mengira bahwa mantan bos kami mempunyai sifat yang baik dan peduli bagi karyawan-karyawan yang bekerja di perusahaannya. Nyatanya justru malah sebaliknya. Hanya pada saat membutuhkan saja dia berperangai baik. Seolah-olah dia memperhatikan nasib dan keadaan para karyawannya. Jujur saja aku geram dan jengkel terhadap perlakuan dan keputusan yang diambil oleh mantan bos kami.
            “Jujur saja. Seandainya tidak ada robot-robot itu, pasti kita masih bisa bekerja dengan seperti biasa” jelasku kepada teman-temanku yang mantan OB.
            “Aku setuju denganmu, Yud. Tapi mau bagaimana lagi, sekarang jamannya sudah maju, serba modern, serba canggih” balas Rinda dengan mantap.
            “Lantas kita harus bekerja di mana lagi ? Aku sudah cari lowongan-lowongan pekerjaan di koran-koran dan di majalah-majalah, tetapi persyaratannya terlalu sulit. Minimal harus mempunyai gelar S1 atau D3 dulu” Andi bertanya sekaligus memberikan informasi.
            “Apa ? S1 ? Aku saja SMA tidak tamat, bagaimana bisa kalau perusahaan-perusahaan membutuhkan calon karyawan yang memiliki gelar minimal S1 ?” Kusnandar bertanya dengan ekspresi jengkel.
            “Nah, kalau begitu begini saja. Kita kumpulkan semua teman-teman kita yang dipecat oleh perusahaan, kemudian kita harus membahas soal ini. Kita harus bergerak dan jangan sampai diam saja. Soalnya ini masalah hak kehidupan para karyawan, yang seenaknya saja digantikan oleh mesin-mesin kaleng busuk itu. Kita harus bergerak !” saran dari Mas Agus yang langsung membuat semuanya terangguk-angguk.
            “Tunggu sebentar, Mas. Aku punya ide bagus dari perkataanmu itu. Bagaimana kalau kita mendirikan saja lapangan pekerjaan sendiri, untuk masalah dananya kita bisa mengajukan ke sponsor-sponsor ataupun sukarelawan dengan embel-embel hak kehidupan para karyawan yang ditindas oleh robot-robot pengganti kita itu. Bagaimana ?” kujelaskan ideku kepada teman-teman sambil mencoret-coret kertas, seolah-olah merupakan cerminan dari apa yang aku jelaskan tadi.
            “Bagaimana jika rencanamu itu tidak berhasil ? Malah kita nanti yang dicurigai oleh polisi sebagai gerakan yang merugikan Negara.” Kusnandar merespon.
            “Kita jalankan rencana B. Kita bawa teman-teman seperjuangan kita. Lalu turun ke jalan.” jawabku dengan nada sungguh-sungguh.

            “Kutu kupret, menjijikkan sekali, seharusnya bangkai tikus itu disingkirkan dari tengah jalan” entah kenapa aku mengatakan seperti itu di dalam pikiranku. 

No comments:

Post a Comment