Translate

Monday, 24 October 2016

SAJAK "SADARLAH!"

Sadarlah!
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Ada sesuatu di depanmu
yang sedang menunggu
reaksi darimu
untuk melakukan sesuatu

Aku yakin kamu melihatnya
jelas sekali di mata
tak ada yang menghalanginya
sangat ‘cetha’

Sekarang tinggal aksi
dari dirimu sendiri
ajak jiwa dan raga tuk berdiri
kamu harus berani
apapun risiko yang akan terjadi
Jangan sampai ada penyesalan
yang akan selalu bergentayangan
di setiap hembusan kehidupan
yang akan kau jalankan

Ayo berubahlah!
larang ketakutan menikam gairah
hancurkan kemalasan payah
yang membuatmu lemah

Sadarlah!

Saturday, 22 October 2016

PENGALAMANKU DI BANTEN

PENGALAMANKU DI BANTEN

Akan kuceritakan sedikit atau banyak, terserah kalian, pengalamanku waktu aku mengikuti acara Kongres IMABSII di provinsi Banten. Tepatnya di Kota Serang dan kota-kota lain yang ada di Banten.
            Hari itu, hari Sabtu tanggal 7 Mei 2016 aku berpamitan pada ibuku di Kota Kudus. Aku bilang kepada ibuku bahwa aku akan pergi ke provinsi yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya, yaitu Banten. Sebelum berangkat, tak lupa ibuku memberiku sebuah bungkusan. Di dalamnya, terdapat jajanan khas Yogyakarta, yang tak lain adalah Bakpia Pathok dan Enting, karena kebetulan tiga hari yang lalu ibuku pergi ke Yogyakarta untuk menghadiri acara yang diadakan kantor ibuku bekerja. Aku berangkat pukul 10.00 WIB.
            Dengan menggunakan motor GL Pro tahun 1997-an-ku, kupacu dengan kecepatan agak tinggi, sekitar 90 km/jam. Sebenarnya kereta yang aku dan enam orang temanku pesan mulai berangkat pukul 14.00 WIB dari Stasiun Poncol Semarang sampai Stasiun Pasar Senen Jakarta. Itulah mengapa aku pacu motorku dengan kecepatan yang lumayan kencang.
            Setelah hampir dua jam, sebenarnya kalau tidak macet bisa hanya satu setengah jam perjalanan, aku tiba di kosku yang berada di Gunungpati, Semarang. Pada saat itu, aku lupa bahwa aku belum packing segala kebutuhanku selama berada di Banten. Dengan tergesa-gesa karena waktu yang sangat mepet, menunjukkan pukul 12.55 WIB, aku berhasil mempersiapkan barang-barangku di koper yang lumayan kecil, tapi bisa menampung barang yang begitu banyak. Sudah satu jam aku ditunggu oleh keenam rekanku yang akan berangkat ke Banten. Mereka adalah Mas Sandi, Mas Arbi, Mbak Tyas, Mas Ari, Mbak Ela, dan Kharisma. Yang sama-sama semester dua sepertiku hanya Kharisma saja. Oh ya, aku masih ditunggu oleh Mas Sandi di depan kosku, lalu aku bergegas naik membonceng ke motor Mas Sandi untuk menuju ke Masjid Ulul Albab (atau orang-orang sekitar Unnes sering menyebutnya MUA), tempat rekan-rekanku berkumpul.
            Ternyata di MUA sudah berkumpul semua, dan mereka menungguku. Sebenarnya aku agak malu dan merasa sungkan terhadap rekan-rekanku ini karena aku terlambat satu jam. Dengan menggunakan taksi lokal, akhirnya kami berenam berangkat menuju Stasiun Poncol Semarang. Di perjalanan, sebenarnya aku merasa was-was apabila aku dan rekan-rekanku ditinggal oleh kereta yang dijadwalkan berangkat pukul 14.00 WIB. Syukurlah, sesaat kita sampai di stasiun, aku langsung melihat waktu di handphone-ku, dan ternyata menunjukkan pukul 14.41 WIB. Masih ada sisa waktu 19 menit untuk kereta berangkat. Di sisa waktu tersebut, aku manfaatkan dengan salat dhuhur sekaligus aku jamak dengan salat ashar, karena kereta menempuh kira-kira delapan jam perjalanan.
            Jujur saja, aku baru pertama kali berada di stasiun kereta, dan baru pertama kali ini aku akan naik kereta. Sambil penasaran, aku lihat-lihat stasiun itu sembari menunggu kereta berangkat. Saat waktu menunjukkan pukul 14.50 WIB, aku dan rekan-rekanku memutuskan untuk menuju gerbong kereta sesuai yang ada di tiket pesanan kami. Kami berada di gerbong 15, di mana gerbong paling akhir dari kereta yang kami tumpangi. Koper yang aku bawa terasa berat sekali. Sampailah di gerbong 15, dan aku melangkahkan langkah pertamaku untuk naik kereta. Rasanya senang campur penasaran pada saat di dalamnya. Kami duduk di tempat duduk bagian 20 ABC dan 21 ABC. Aku mendapatkan kursi bagian 20 B. Aku juga tidak tahu kalau duduknya berhadap-hadapan dengan penumpang lain. Tepat pukul 14.00 WIB, kereta berangkat. Aku memilih duduk di dekat kaca kereta untuk merasakan sensasi bagaimana naik kereta pertama kali. Dalam pikirku, ternyata kereta bila dirasakan dari dalam tidak secepat kelihatannya.
            Waktu menunjukkan pukul 15.49 WIB, perutku mulai terasa lapar. Mas Arbi pun juga merasakan hal yang sama. Kami berdua memutuskan untuk mencari makanan Aku dan Mas Arbi harus menempuh 14 gerbong untuk sampai ke tempat penjualan makanan. Dengan waktu kira-kira sepuluh menit perjalanan menuju tempat penjualan makanan dan minuman, akhirnya kami sampai juga. Aku dan Mas Arbi memesan makanan dan kopi susu. Makanan yang tersedia hanyalah nasi goreng bakso dan minumannya beragam, mulai dari air mineral, kopi hitam, kopi susu, dan lain sebagainya. Yang membuatku terkejut adalah harga nasi goreng bakso tersebut yang cukup mahal, yaitu mencapai Rp 20.000 per bungkus. Dan kopi susu yang kupesan juga mahal harganya, yaitu Rp 9.000. Bandingkan dengan makanan dan yang serupa di daerah Unnes, pasti jauh lebih murah ketimbang di Unnes daripada di kereta. Tapi tak apalah, karena perut terasa lapar, aku pesan dan makan sajalah.
            Tidak terasa delapan jam sudah terlewati, akhirnya kami sampai dan turun di Stasiun Pasar Senen. Ketika itu, kami dijemput oleh panitia penyelenggara Kongres IMABSII menggunakan mobil. Kami diantar menuju kampus di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) untuk menginap dan beristirahat sementara, karena pemberangkatan ke Banten akan dilakukan esok hari. Di UNJ, aku bertemu dengan kawan-kawan baru dari Universitas Adibuana Surabaya, Universitas Haluoleo dari Sulawesi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta yang merupakan tuan rumah Kongres IMABSII yang ke lima di tahun ini), dan dari UNJ sendiri aku juga dapat kawan baru. Keesokan harinya kami semua dijemput menggunakan bus yang disediakan oleh Untirta dan menuju ke Banten. Saat perjalanan menuju ke Banten, kami melewati Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sekilas, aku pandangi Kota Jakarta dengan kagum, karena di sana terdapat banyak sekali gedung-gedung tinggi sekali. Setelah kira-kira dua jam perjalanan, kami sampai di provinsi Banten, yang menurutku pemandangannya kurang lebih sama dengan pemandangan di Kota Jakarta. Akhirnya kami semua ditempatkan di Rusunawa Untirta, yang notabene masih baru dan tidak lam diresmikan dua hari yang lalu. Aku dan rekan-rekanku lalu melakukan registrasi ulang di panitia. Setelah registrasi ulang, kami mendapatkan nomor kamar kami yang berbeda-beda. Aku mendapatkan nomor kamar 40, di mana kamar ini berada di paling atas Rusunawa yang berada di lantai nomor empat. Dengan membawa koper yang cukup berat, aku harus menaiki anak tangga yang lumayan  banyak. Sampai juga aku di kamar 40. Kulihat pintu tersebut, sudah ditempeli dengan kertas yang bertuliskan daftar orang yang akan menempati kamar tersebut. Ada empat orang, termasuk aku, yang akan menempati kamar 40 ini, antara lain Ilyas Rifai dari Universitas Pakuan Bogor, Ance (saya lupa nama lengkapnya) dari Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB), dan satunya saya lupa namanya dari Universitas Surya Kencana, dan aku sendiri Muhammad Ilham Riesa Putera dari Universitas Negeri Semarang. Yang datang pada hari itu hanyalah aku dan Ance. Saat itu juga aku berkenalan dengannya.
            Kuputuskan aku dengan Ance untuk berkenalan dengan yang lain. Aku berkenalan dengan rekannya dari UMB, yaitu Noval Nauli Pasaribu. Keduanya memang sangat baik padaku, walaupun kami baru berjumpa pertama kalinya. Kami bertiga kemudian menuju ke saung yang berada di dekat Rusunawa Untirta. Di sana kami bertiga juga berkenalan dengan mahasiswa dari universitas lain. Sebut saja Deni dari Universitas Negeri PGRI Kediri, Herdi dari Universitas Benguku, Harmoko dari Universitas Bengkulu juga, dan Dhawam dari Universitas Negeri PGRI Kediri. Kami berenam pun lalu berteman akrab dan saling bercanda tawa di saung, sembari menunggu peserta lain datang. Setiap peserta yang baru datang dari bus, aku dan kelima kawan baruku ini menyapa peserta baru itu dan sekedar memberikan senyum kepada mereka. Itu kami lakukan agar kami bisa saling mengenal dan akrab dengan mereka.
            Malamnya, kami berenam memutuskan untuk makan malam di warung makan sambil nonton bareng Moto GP, yaitu balapan motor di kelas yang paling tinggi kecepatannya. Sambil makan, kami berenam ternyata dibarengi juga oleh peserta lain. Mereka juga antusias untuk menonton  Moto GP di warung, karena memang di Rusunawa tidak disediakan televisi oleh panitia. Setelah puas menonton dan makan, kami berenam memutuskan untuk tidur dan istirahat, karena waktu telah menunjukkan pukul 22.00 WIB dan besok akan ada acara Pembukaan Kongres dan Seminar di Kampus A Untirta.
            Keesokan harinya, semua peserta diberangkatkan dari Rusunawa Untirta menuju Kampus A Untirta menggunakan bus yang disediakan oleh panitia. Sebelum diberangkatkan, sekilas aku melihat panitia perempuan. Di dalam pikirku, orang-orang Banten sungguh sangat cantik-cantik dan rupawan. Terkadang aku sempat memikirkan betapa cantiknya mahasiswa-mahasiswa yang ada di Kampus A Untirta nanti setelah sampai sana.
            Setelah kurang lebih dua jam perjalanan menuju Kampus A Untirta, dugaanku ternyata tidak salah. Justru malah melebihi apa yang aku harapkan. Mahasiswi-mahasiswi di Untirta memang sangat cantik-cantik, dan kebanyakan pakai kerudung pula. Mereka juga berperangai baik, dan ramah kepada sesama mahasiswa lainnya. Sekilas terlintas di benak, apakah ada mahasiswi di sini yang dapat menarik hatiku ? Itu hanya pikiran saja.
            Seluruh peserta diarahkan oleh panitia menuju ruang aula Untirta. Di situ menjadi tempat Pembukaan Kongres dan Seminar. Setelah masuk ke ruangan aula, aku pun duduk bersebelahan dengan Deni, Noval, Ance, dan Harrmoko. Semua peserta menggunakan jas almamater dari universitas masing-masing, membuat ruangan aula dipenuhi dengan warna-warni jas almamater. Sempat aku terdiam karena betapa indahnya perbedaan yang diciptakan dalam suasana yang hangat. Aku merasakan Indonesia begitu dekat di saat ini, karena perwakilan dari setiap universitas yang ada di Indonesia berkumpul menjadi satu.
            Setelah acara Pembukaan Kongres dan Seminar selesai, semua peserta kembali ke Rusunawa untuk beristirahat, kira-kira pukul 23.00 WIB. Aku kembali ke kamarku bersama Ance, tetapi Ilyas belum tampak, karena dia belum hadir. Malam itu menjadi malamku yang pertama untuk menempati Rusunawa Untirta.
            Dua hari berlalu, Kongres IMABSII V akhirnya telah terlewati. Acara yang sangat membosankan, namun banyak manfaat. Salah satu manfaat yang dapat aku terima adalah aku dapat mempelajari cara orang-orang menyampaikan pendapatnya dengan benar dan tepat. Lalu untuk manfaat yang dapat aku ambil dan dapat aku bagikan ke teman-temanku yang ada di Unnes adalah bahwa kita harus satu tujuan untuk mencapai apa yang diinginkan, dan kita harus menghilangkan ego masing-masing individu, karena hal itulah yang dapat menyebabkan pecahnya persatuan dan keutuhan.
            Acara selanjutnya yaitu Gerakan Cinta Bahasa Indonesia. Para peserta diarhkan panitia untuk melakukan aksi simpatik di masyrakat kota Serang dengan membagikan permen dan kertas yang berisikan tentang cinta Bahasa Indonesia. Lalu para peserta berorasi di depan Kantor Pemerintah Banten dan menyampaikan tentang tuntutan mereka untuk menindaklanjuti masalah penghapusan peraturan yang menyebutkan bahwa Tenaga Kerja Asing (TKA) tidak diwajibkan mempelajari Bahasa Indonesia.
            Malam harinya, digelar acara Festival Seni, di mana setiap universitas akan menampilkan kebolehannya dalam bidang seni dan sastra. Di acara ini, ada yang menampilkan deklamasi puisi, bernyanyi, menari, musikalisasi puisi, accapella, dan lain sebagainya. Dan juga ada pertunjukan asli Banten, yaitu debus Banten, yaitu seni pertunjukkan yang menampilkan adegan-adegan berbahaya seperti memakan beling kaca, menggosok pedang di tangan, lidah, dan kaki, dan sebagainya.
            Acara keesokan harinya yaitu Dedolan Serang (atau jalan-jalan di kota Serang). Di sini, para peserta diarahkan panitia dengan menggunakan bus menuju Banten Lama. Di Banten Lama terdapat destinasi wisata yang cukup terkenal, yaitu Masjid Agung Banten dan Keraton Kaibon.

HYMNE FBS UNNES MP3

Ini adalah Hymne FBS Unnes versi MP3-nya. Bagi teman-teman yang belum tahu dan ingin hafal Hymne FBS itu seperti apa, silakan klik di sini!

PUISI "DARAT PINDAH LAUT, LAUT PINDAH DARAT"

Darat Pindah Laut, Laut Pindah Darat
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

ikan-ikan kecil sedang menjalani hidup
berenang ke sana kemari
dengan bertanahkan terumbu karang
dan pasir

ikan-ikan besar sedang menjalani hidup
berenang ke sana kemari
mengejar-ngejar ikan-ikan kecil
di balik terumbu karang dan pasir

manusia-manusia tak berhati dan tak berakal
sedang menikam hidup
dari ikan-ikan kecil dan ikan-ikan besar
sekalipun terumbu karang dan pasir yang tak hidup

sampailah ikan-ikan kecil, ikan-ikan besar, terumbu karang, dan pasir
di dunia yang baru bertanahkan lantai keramik
dan manusia menjajah dunia berudarakan air

darat pindah laut, laut pindah darat

Semarang, 3 Oktober 2016

MONOLOG "APA ARTINYA KEMERDEKAAN" KARYA OBI SUHARJONO

SAJAK "MEMBENCI RINDU"

Membenci Rindu
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Sebulan dari waktu itu
kita bertemu
di malam bernafas syahdu
mulai ditusuk oleh rindu

Rindu yang menyebalkan
karena tak bisa dihentikan
menggerayang dalam pikiran
dirimu yang mustahil dilupakan

Sial!
Aku ingin bersama denganmu lagi
merasakan hangatnya suasana
hanya kita berdua
penuh dengan atmosfir cinta
mata yang saling pandang
berkilauan cahaya terang
tak ada yang mengekang

Hanya kamu
yang dapat membantuku
dari sedih sendu

Aku sangat membenci rindu!

Semarang, 22 Oktober 2016

Thursday, 20 October 2016

CERPEN "BANGKAI TIKUS TENGAH JALAN"

Bangkai Tikus Tengah Jalan
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Begitu menyenangkannya, ketika semua elemen dapat dengan sendirinya melek atas apa yang dilihatnya dan diketahuinya. Tapi dewasa ini tidak dipungkiri lagi bahwa harus ada yang mengevokasi terlebih dahulu, atau setidaknya dirinya sendiri yang akan melakukannya. Siapapun itu dan dimanapun itu. Selalu begitu dan tetap begitu.
            Aku baru saja selesai sarapan yang dibuatkan langsung oleh istriku.
            “Nikmat sekali makanan untuk sarapan ini, Bun. Masakan baru ya ?” kataku setelah menyantap sesendok terakhir sarapanku. “Kebetulan kemarin aku belajar dari Mbak Tanti, sekarang dia pandai memasak, Yah.” istriku membalas pertanyaanku. “Lho, kan dia tidak pandai memasak, Bun. Biasanya dia membeli makanan langsung dari warung Mak Jinah. Kok tiba-tiba bisa masak begitu ya ?” tanyaku dengan heran. “Suaminya yang mengajari dia memasak. Sekarang suaminya membuka warung makan setelah dia dipecat dari perusahaannya, Yah.” sahut istriku dengan nada meyakinkan. Ternyata suami dari Mbak Tanti, Mas Sigit, teman dekatku, dipecat dari perusahaan yang memberikan nafkah keluarganya sehari-hari. Padahal Mas Sigit yang kutahu adalah pribadi yang berdisplin tinggi dan berperangai baik kepada orang lain. Dan juga dia memiliki etos kerja yang menurut pengamatan ‘kacamataku’ sangat baik. Tapi mengapa perusahaan yang dia tempati memecatnya ? Apakah dia melakukan suatu kesalahan, sehingga memaksa perusahaan untuk memecat dia ? Atau mungkin perusahaan itu mengalami penurunan pendapatan secara besar, sehingga perusahaan harus memecat para karyawannya ? Entahlah, hanya perusahaan dan Tuhan saja yang tahu.
            Gantungan beserta kunci motor kuraih dari paku yang sengaja aku palu di dekat pintu kamarku, dan aku berpamitan kepada istri dan kedua anak kembarku yang baru berusia tiga tahun lebih 43 hari. Kukecup kening istri dan anak-anakku yang dapat memberikan semangat kerjaku di pagi yang agak mendung. Dari garasi yang bisa dibilang kecil dan sempit, kukeluarkan motor tahun ’90-an’-ku, sambil kupanaskan mesinnya agar tidak mogok ditengah perjalanan menuju tempat kerja. Aku rasa cukup untuk memanaskan motorku selama lima menit. Kutarik gas motorku secara halus, dan berjalanlah motorku menyusuri jalan. Saat di tengah-tengah perjalanan, aku sempat sekilas melihat sesuatu yang mungkin tak penting sama sekali, namun juga penting sama sekali untuk ditindaklanjuti.
            “Kutu kupret, menjijikkan sekali, seharusnya bangkai tikus itu disingkirkan dari tengah jalan” entah kenapa aku mengatakan seperti itu di dalam pikiranku.
            Aku berusaha menyalip kendaraan yang ada di depan, itu menghalangiku untuk menuju kantor. Dengan gas motor yang kutarik sedikit keras, aku menyalip sebuah mobil yang kutaksir dengan harga selangit, sekitar satu milyar kira-kira, lalu kubunyikan klakson motorku. “Woy, kalau jalan pakai hati dong ! Jangan cuma pakai otak !” emosiku meluap seketika, karena pengemudi mobil itu mengendarai mobilnya bak menunggangi sebuah banteng liar. Dia tidak merespon, hanya memandangiku dengan wajah yang tak terlalu kelihatan karena kaca mobilnya yang dilapisi film hitam. Entah apa maksud dan tujuan pemasangan kaca film warna hitam, padahal warna hitam atau gelap bisa menambah intensitas suhu panas, dan juga menghambat penglihatan saat mengendarai yang dapat menyebabkan kecelakaan.
            “Inilah yang namanya keberuntungan. Tidak ada hujan saat perjalanan ke kantor, dan tidak terlambat pula.”
            Turun dari motor, kulangkahkan kakiku ke kantor kerjaku. Di momen inilah aku agaknya merasa malas, tetapi keluarga di rumah mengingatkanku untuk aku bisa menghidupi mereka. Akhirnya kupaksa tubuh untuk menaiki tangga biasa, karena lift sedang dalam perbaikan. Padahal untuk perusahaan yang dibilang cukup terkenal, tetapi untuk memperbaiki lift saja butuh waktu yang lama. Kupikir-pikir sangat mudah bila hanya mendanai perbaikan lift rusak, bisa diperbaiki dalam waktu yang singkat.
            Ikan-ikan yang ada di kolam dekat taman kantor pun tak lupa kuberi pelet. Sudah lama aku merawat ikan-ikan ini sejak pertama aku diterima kerja di perusahaan ini. Dulu masih kecil-kecil, malah ada yang belum lahir. Sekarang hanya tinggal dua ekor saja dengan ukuran paling besar yang masih hidup hingga sekarang, 25 ekor ikan lainnya adalah hasil perkawinan dari dua ekor yang paling besar itu. Mereka semua tak pernah lupa untuk aku beri makan, atau setidaknya membersihkan dan menguras kandang mereka. Bisa dibilang ikan-ikan inilah yang menjadi saksi bagaimana selama ini aku bekerja di perusahaan ini, dan bagaimana perkembangan perusahaan ini dari tahun ke tahun.
            Teh dan kopi aku tuangkan ke dalam dua cangkir yang berbeda dari teko.
            Ibarat kisah di dongeng, aku menaiki sebuah istana tinggi nan megah di suatu kerajaan berlantai 20 dengan tangga biasa, karena lift sedang berada dalam perbaikan, sambil membawa nampan berisi teh, kopi, buah pisang dan apel, serta lima gorengan yang biasa bosku makan di pagi hari. Aku tak pernah terlambat ataupun lupa untuk membuatkannya. Pernah sekali, ketika suatu pagi aku tidak membuatkan sarapan untuk bosku, karena istriku sedang mengalami kontraksi saat hamil. Terpaksa aku tidak jadi berangkat ke kantor, namun mengantarkan istri ke rumah sakit dekat pasar di desaku, yang juga jauh dari kantorku. Tetapi bosku memaklumiku untuk tidak masuk ke kantor satu hari mengurus istriku yang akan segera melahirkan. “Terima kasih bos telah mengizinkan saya untuk tidak masuk.” aku berkata via telepon di ruang tunggu rumah sakit. “Tidak apa-apa, aku akan menyuruh yang lain untuk menggantikanmu sementara. Semoga istrimu melahirkan anak dengan selamat dan lancar ya, dan anakmu bisa lahir dengan normal dan sehat.” balas bosku dengan ekspresi yang bisa kutebak walaupun via telepon. “Amin. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih bos.”
            Kusapu dan kubersihkan lantai, dari lantai satu, atau biasa orang-orang menyebutnya dengan ruang loby, sampai lantai lima. Lantai 15 sisanya dibersihkan oleh empat Office Boy (OB) yang lain. Mereka semua adalah teman kerjaku, satu diantaranya masih pekerja baru dan masih muda. Nama-namanya yaitu Kusnandar, Rinda, Mas Agus, dan yang baru bernama Andi. Keempat OB ini sama sekali tidak ada yang malas-malasan. Semuanya memiliki etos kerja yang baik. Yang paling tua di antara kami berlima adalah Mas Agus. Dia bekerja di perusahaan ini empat tahun lebih awal dariku. Pengalamannya juga lebih banyak dariku, bahkan aku sering belajar sesuatu dengan dia, entah itu masalah yang ada di tempat kerja maupun masalah kehidupan sehari-hari. Aku juga sering meminta saran dan curhatan dari dia.
            “Untuk membeli peralatan bayi yang murah di mana ya mas ?” tanyaku kepada Mas Agus.
            “Sebelah pasar, Yud. Di sana ada toko yang menjual perlengkapan bayi. Mosok toko dekat pasar saja kamu tidak tahu ? Apa perlu aku namai toko itu dengan nama ‘Toko Yudi’?” sambil bercanda dia menjawab pertanyaanku dengan ramah.
            Tepat pukul lima, bel perusahaan berbunyi dengan suara lantang, yang menandakan akhir kerja di hari itu. “Menyenangkan sekali hari ini, walaupun aku sangat capek.” itulah kira-kira kata-kata yang ada di dalam pikiranku setelah seharian penuh bekerja. Kuambil motorku di parkiran dan menuju pulang ke rumah untuk menemui istri dan anak-anakku.
            Empat hari berlalu, saat aku sampai di tempat kerjaku, ada suasana yang tidak biasa. Ada orang-orang, termasuk bosku yang biasanya lebih awal aku daripada dia, sedang lalu lalang mengangkut sesuatu yang kelihatannya barang canggih, berbentuk seperti robot. “Kok tidak seperti biasanya ya ?” pikirku. Aku mencoba menyalami sekaligus bertanya kepada bosku tentang apa yang sedang terjadi.
            “Nuwun sewu bos, ini ada apa ya ? Ada barang baru ya bos ? Tapi kok banyak sekali jumlahnya ?” kutanya bos setelah aku menyalaminya.
            “Gini, ada yang ingin kubicarakan padamu, Yudi” jawabnya dengan ekspresi yang sangat serius kali ini dan membuatku penasaran.
            Aku langsung protes seketika, setelah bosku menjelaskan bahwa dia memecatku. Emosiku sempat meluap, tetapi petugas keamanan langsung menyeretku menjauh dari yang sekarang menjadi mantan bosku. Apa yang salah denganku ? Apakah aku melakukan kesalahan, sehingga aku harus dipecat ? Apakah aku pernah menyakiti perasaan bosku ? Sampai-sampai aku mau menabrak seseorang ketika perjalanan pulang karena hal ini. Lalu bagaimana harus kuceritakan kepada istriku masalah ini ? Bagaimana pula nasib kehidupan keluargaku ? Lantas, di mana lagi aku harus bekerja ?
            Hal yang kualami ternyata dialami oleh rekan-rekan OB yang ada di perusahaan itu. Mereka semua dipecat. Aku terheran-heran, kukira hanya aku yang dipecat, namun semua OB juga dipecat. Aneh saja, ketika tiba-tiba hari itu bos langsung memecat semua OB. Kusnandar, Rinda, Mas Agus, dan juga Andi juga punya kehidupan dan keluarga di rumah. Dari mana mereka akan mendapatkan penghasilan ? Lha wong perusahaan juga tidak memberi solusi untuk bekerja di mana setelah ini, apalagi memberi uang pesangon setelah dipecat begitu saja. Rekan-rekan OB dan aku mengira bahwa mantan bos kami mempunyai sifat yang baik dan peduli bagi karyawan-karyawan yang bekerja di perusahaannya. Nyatanya justru malah sebaliknya. Hanya pada saat membutuhkan saja dia berperangai baik. Seolah-olah dia memperhatikan nasib dan keadaan para karyawannya. Jujur saja aku geram dan jengkel terhadap perlakuan dan keputusan yang diambil oleh mantan bos kami.
            “Jujur saja. Seandainya tidak ada robot-robot itu, pasti kita masih bisa bekerja dengan seperti biasa” jelasku kepada teman-temanku yang mantan OB.
            “Aku setuju denganmu, Yud. Tapi mau bagaimana lagi, sekarang jamannya sudah maju, serba modern, serba canggih” balas Rinda dengan mantap.
            “Lantas kita harus bekerja di mana lagi ? Aku sudah cari lowongan-lowongan pekerjaan di koran-koran dan di majalah-majalah, tetapi persyaratannya terlalu sulit. Minimal harus mempunyai gelar S1 atau D3 dulu” Andi bertanya sekaligus memberikan informasi.
            “Apa ? S1 ? Aku saja SMA tidak tamat, bagaimana bisa kalau perusahaan-perusahaan membutuhkan calon karyawan yang memiliki gelar minimal S1 ?” Kusnandar bertanya dengan ekspresi jengkel.
            “Nah, kalau begitu begini saja. Kita kumpulkan semua teman-teman kita yang dipecat oleh perusahaan, kemudian kita harus membahas soal ini. Kita harus bergerak dan jangan sampai diam saja. Soalnya ini masalah hak kehidupan para karyawan, yang seenaknya saja digantikan oleh mesin-mesin kaleng busuk itu. Kita harus bergerak !” saran dari Mas Agus yang langsung membuat semuanya terangguk-angguk.
            “Tunggu sebentar, Mas. Aku punya ide bagus dari perkataanmu itu. Bagaimana kalau kita mendirikan saja lapangan pekerjaan sendiri, untuk masalah dananya kita bisa mengajukan ke sponsor-sponsor ataupun sukarelawan dengan embel-embel hak kehidupan para karyawan yang ditindas oleh robot-robot pengganti kita itu. Bagaimana ?” kujelaskan ideku kepada teman-teman sambil mencoret-coret kertas, seolah-olah merupakan cerminan dari apa yang aku jelaskan tadi.
            “Bagaimana jika rencanamu itu tidak berhasil ? Malah kita nanti yang dicurigai oleh polisi sebagai gerakan yang merugikan Negara.” Kusnandar merespon.
            “Kita jalankan rencana B. Kita bawa teman-teman seperjuangan kita. Lalu turun ke jalan.” jawabku dengan nada sungguh-sungguh.

            “Kutu kupret, menjijikkan sekali, seharusnya bangkai tikus itu disingkirkan dari tengah jalan” entah kenapa aku mengatakan seperti itu di dalam pikiranku. 

PUISI "DASI SANG TIKUS"

Dasi Sang Tikus
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Apa yang kau lakukan ?
Apa yang kau dapatkan ?
Apa yang kau lanjutkan ?
Apa yang kau sesalkan ?

Mengapa kau lakukan ?
Mengapa kau ingin dapatkan ?
Mengapa kau lanjutkan ?
Mengapa kau sesalkan ?

Darimana kau lakukan ?
Darimana kau dapatkan ?
Darimana kau selama ini ?
Darimana kau mendapatkan senyum palsumu itu ?

Bagaimana bisa kau melakukannya ?
Bagaimana bisa kau mendapatkannya ?
Bagaimana bisa kau melanjutkannya ?
Bagaimana bisa kau menyesal ?

Bagaimana nasib yang menjadi korbanmu itu ?
Karena engkau mempunyai

dasi Sang Tikus…

Semarang, 22 September 2016

SAJAK "LELAKI PALING SABAR DI DUNIA"

Lelaki Paling Sabar di Dunia
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Pertama kali aku lahir
belum bisa mikir
terhadapa apa yang hadir
Harus ada yang ‘menyetir’

Namun ada seorang lelaki
yang selalu mengajari
tentang kehidupan dunia ini
tak lelah, tak henti

Ketika ku beranjak dewasa
menjadi seorang pria
yang sedang mencari jati dirinya
mencari cinta
aku tak luput dari dosa
kepada Tuhan yang ada
di atas sana
juga kepada orang tua

Tapi dia berlapang dada
dia tetap setia
mengajariku kebenaran yang sesungguhnya

Dia, lelaki yang paling sabar di dunia

Semarang, 16 Oktober 2016

SAJAK "NOL KOSONG"

Nol Kosong
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Aku mendengar kata-katamu
mengerti maksudmu
memahami tujuanmu
mengetahui yang kau mau

Aku melihat apa yang kau lakukan
menangkap janji yang kau berikan
yang ada di iklan-iklan
maupun di papan-papan

Tapi kau bohong
Kita malah ‘gosong’
karena kerja nyatamu yang gak ‘dong’
semua omong kosong

Ini soal akibat
dari yang kau perbuat
ternyata menyusahkan rakyat
Padahal kata-katamu memikat

Semarang, 16 Oktober 2016

PUISI UNTUK ASWIN

Puisi untuk Aswin
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Selamat datang di dunia
tempat di mana para manusia
hidup sentosa dan sejahtera
katanya

Bersiap dirilah ku mohon padamu
tuk semuanya yang baru
tak seperti lagi dalam perut ibu
kehidupan yang penuh lika-liku

Pintaku kelak jadilah perdamaian
kepada tempat ini yang gak karuan
deru badai pasti akan kau lawan
Aswin, kaulah Sang Impian


Puisi ini aku hadiahkan kepada adikku
yang baru lahir ke dunia
Muhammad Aswin Marchensa
Semarang, 19 Maret 2016

SAJAK "INI UNTUKMU"

Ini Untukmu
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Ini !
sesuatu ada untukmu
dari aku hanya satu
hati

Ini untukmu…

SAJAK "APA?"

Apa ?
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Terasa sesak dada ini
menekan-nekan sampai ke lubuk hati
entah apa yang membuatnya
aku kepada temanku bertanya
salah apa sehingga terjadi padaku
kuingat-ingat kembali masa lalu

Ingin aku teman-teman senang
selalu berada di antara bayang-bayang
berada dekat di sisi
selamanya sampai mati

Rasa di dalam ingin menghancurkan
yang sama sekali tak enak dirasakan
sangat sempit

sakit

SAJAK "MISAH"

Misah
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Yang dulu begitu dekat
seperti tulang rusuk yang melekat
seperti orang yang menggenggam jimat
begitu erat

Kini menjauh
aku tak tahu yang mereka tempuh
ketika ingin kurengkuh
tuk hilangkan rasa jenuh

Mungkin ini yang dinamakan ‘jalan’
sama sekali tidak nyaman
cara apapun tak mempan
apa yang harus kulakukan ?

SAJAK "PUTIH VS HITAM"

Putih vs Hitam
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Ya, aku sangat mau
menerima semua bantuanmu
yang butuh sekali untukku
seperti seonggok daging yang kaku
beku

Ya, kamu yang sedang melihat
pada diriku yang hitam pekat
hitam pekat yang sangat rekat
dan mencoba untuk meloncat

Beruntunglah aku melihat putih
sedang melihat diriku dengan jernih
dan lega sedikit ini rasa perih
gembira muncul dengan lebih

SAJAK "MENGALAH"

Mengalah
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Tak kuduga hal ini
terjadi padaku
Terasa sakit di lubuk hati
yang paling dalam

Aku, kau, dan dia
hanya tertuju padamu
cinta yang terbagi-bagi
cinta yang tak mesti

Lebih baik aku mengalah
bukan berarti aku ini lemah
semoga kamu bahagia dengannya
Walaupun sesungguhnya hati ini

takkan rela

SAJAK "TUA"

Tua
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera

Waktulah yang menjadikan
dari yang wajah tampan
hingga cantik rupawan
kan merasakan

Keriput bergerak menggerogot
seiring gigi yang copot
dan mulai lemah otot
yang dulunya ‘mbentot’

Takut mati terasa jelas
disaat kehidupan mulai bias
omongan tidak lagi digagas
karena suara sudah lemas
Cemas-cemas
hutang-hutang mulai dibayar lunas
sebelum ‘bablas’
walaupun belum pantas

Hanya doa dan dzikir
yang diucapkan ala syair
dengan gemulai oleh bibir
tanpa mikir
langsung mengalir


 Semarang, 18 Maret 2016