Bangkai Tikus Tengah Jalan
Karya : Muhammad Ilham Riesa Putera
Begitu menyenangkannya, ketika semua elemen dapat
dengan sendirinya melek atas apa yang
dilihatnya dan diketahuinya. Tapi dewasa ini tidak dipungkiri lagi bahwa harus
ada yang mengevokasi terlebih dahulu, atau setidaknya dirinya sendiri yang akan
melakukannya. Siapapun itu dan dimanapun itu. Selalu begitu dan tetap begitu.
Aku
baru saja selesai sarapan yang dibuatkan langsung oleh istriku.
“Nikmat
sekali makanan untuk sarapan ini, Bun. Masakan baru ya ?” kataku setelah
menyantap sesendok terakhir sarapanku. “Kebetulan kemarin aku belajar dari Mbak
Tanti, sekarang dia pandai memasak, Yah.” istriku membalas pertanyaanku. “Lho, kan dia tidak pandai memasak, Bun.
Biasanya dia membeli makanan langsung dari warung Mak Jinah. Kok tiba-tiba bisa
masak begitu ya ?” tanyaku dengan heran. “Suaminya yang mengajari dia memasak.
Sekarang suaminya membuka warung makan setelah dia dipecat dari perusahaannya,
Yah.” sahut istriku dengan nada meyakinkan. Ternyata suami dari Mbak Tanti, Mas
Sigit, teman dekatku, dipecat dari perusahaan yang memberikan nafkah
keluarganya sehari-hari. Padahal Mas Sigit yang kutahu adalah pribadi yang berdisplin
tinggi dan berperangai baik kepada orang lain. Dan juga dia memiliki etos kerja
yang menurut pengamatan ‘kacamataku’ sangat baik. Tapi mengapa perusahaan yang
dia tempati memecatnya ? Apakah dia melakukan suatu kesalahan, sehingga memaksa
perusahaan untuk memecat dia ? Atau mungkin perusahaan itu mengalami penurunan
pendapatan secara besar, sehingga perusahaan harus memecat para karyawannya ?
Entahlah, hanya perusahaan dan Tuhan saja yang tahu.
Gantungan
beserta kunci motor kuraih dari paku yang sengaja aku palu di dekat pintu kamarku,
dan aku berpamitan kepada istri dan kedua anak kembarku yang baru berusia tiga
tahun lebih 43 hari. Kukecup kening istri dan anak-anakku yang dapat memberikan
semangat kerjaku di pagi yang agak mendung. Dari garasi yang bisa dibilang
kecil dan sempit, kukeluarkan motor tahun ’90-an’-ku, sambil kupanaskan
mesinnya agar tidak mogok ditengah perjalanan menuju tempat kerja. Aku rasa
cukup untuk memanaskan motorku selama lima menit. Kutarik gas motorku secara
halus, dan berjalanlah motorku menyusuri jalan. Saat di tengah-tengah
perjalanan, aku sempat sekilas melihat sesuatu yang mungkin tak penting sama
sekali, namun juga penting sama sekali untuk ditindaklanjuti.
“Kutu kupret, menjijikkan sekali, seharusnya
bangkai tikus itu disingkirkan dari tengah jalan” entah kenapa aku mengatakan
seperti itu di dalam pikiranku.
Aku
berusaha menyalip kendaraan yang ada di depan, itu menghalangiku untuk menuju
kantor. Dengan gas motor yang kutarik sedikit keras, aku menyalip sebuah mobil
yang kutaksir dengan harga selangit, sekitar satu milyar kira-kira, lalu
kubunyikan klakson motorku. “Woy, kalau
jalan pakai hati dong ! Jangan cuma pakai otak !” emosiku
meluap seketika, karena pengemudi mobil itu mengendarai mobilnya bak
menunggangi sebuah banteng liar. Dia tidak merespon, hanya memandangiku dengan
wajah yang tak terlalu kelihatan karena kaca mobilnya yang dilapisi film hitam. Entah apa maksud dan tujuan
pemasangan kaca film warna hitam,
padahal warna hitam atau gelap bisa menambah intensitas suhu panas, dan juga
menghambat penglihatan saat mengendarai yang dapat menyebabkan kecelakaan.
“Inilah
yang namanya keberuntungan. Tidak ada hujan saat perjalanan ke kantor, dan
tidak terlambat pula.”
Turun
dari motor, kulangkahkan kakiku ke kantor kerjaku. Di momen inilah aku agaknya
merasa malas, tetapi keluarga di rumah mengingatkanku untuk aku bisa menghidupi
mereka. Akhirnya kupaksa tubuh untuk menaiki tangga biasa, karena lift sedang dalam perbaikan. Padahal
untuk perusahaan yang dibilang cukup terkenal, tetapi untuk memperbaiki lift saja butuh waktu yang lama.
Kupikir-pikir sangat mudah bila hanya mendanai perbaikan lift rusak, bisa diperbaiki dalam waktu yang singkat.
Ikan-ikan
yang ada di kolam dekat taman kantor pun tak lupa kuberi pelet. Sudah lama aku
merawat ikan-ikan ini sejak pertama aku diterima kerja di perusahaan ini. Dulu
masih kecil-kecil, malah ada yang belum lahir. Sekarang hanya tinggal dua ekor
saja dengan ukuran paling besar yang masih hidup hingga sekarang, 25 ekor ikan
lainnya adalah hasil perkawinan dari dua ekor yang paling besar itu. Mereka
semua tak pernah lupa untuk aku beri makan, atau setidaknya membersihkan dan
menguras kandang mereka. Bisa dibilang ikan-ikan inilah yang menjadi saksi
bagaimana selama ini aku bekerja di perusahaan ini, dan bagaimana perkembangan
perusahaan ini dari tahun ke tahun.
Teh
dan kopi aku tuangkan ke dalam dua cangkir yang berbeda dari teko.
Ibarat
kisah di dongeng, aku menaiki sebuah istana tinggi nan megah di suatu kerajaan
berlantai 20 dengan tangga biasa, karena lift
sedang berada dalam perbaikan, sambil membawa nampan berisi teh, kopi, buah
pisang dan apel, serta lima gorengan yang biasa bosku makan di pagi hari. Aku
tak pernah terlambat ataupun lupa untuk membuatkannya. Pernah sekali, ketika
suatu pagi aku tidak membuatkan sarapan untuk bosku, karena istriku sedang
mengalami kontraksi saat hamil. Terpaksa aku tidak jadi berangkat ke kantor,
namun mengantarkan istri ke rumah sakit dekat pasar di desaku, yang juga jauh
dari kantorku. Tetapi bosku memaklumiku untuk tidak masuk ke kantor satu hari
mengurus istriku yang akan segera melahirkan. “Terima kasih bos telah
mengizinkan saya untuk tidak masuk.” aku berkata via telepon di ruang tunggu
rumah sakit. “Tidak apa-apa, aku akan menyuruh yang lain untuk menggantikanmu
sementara. Semoga istrimu melahirkan anak dengan selamat dan lancar ya, dan
anakmu bisa lahir dengan normal dan sehat.” balas bosku dengan ekspresi yang
bisa kutebak walaupun via telepon. “Amin. Sekali lagi aku mengucapkan terima
kasih bos.”
Kusapu
dan kubersihkan lantai, dari lantai satu, atau biasa orang-orang menyebutnya
dengan ruang loby, sampai lantai
lima. Lantai 15 sisanya dibersihkan oleh empat Office Boy (OB) yang lain. Mereka semua adalah teman kerjaku, satu
diantaranya masih pekerja baru dan masih muda. Nama-namanya yaitu Kusnandar,
Rinda, Mas Agus, dan yang baru bernama Andi. Keempat OB ini sama sekali tidak
ada yang malas-malasan. Semuanya memiliki etos kerja yang baik. Yang paling tua
di antara kami berlima adalah Mas Agus. Dia bekerja di perusahaan ini empat
tahun lebih awal dariku. Pengalamannya juga lebih banyak dariku, bahkan aku
sering belajar sesuatu dengan dia, entah itu masalah yang ada di tempat kerja
maupun masalah kehidupan sehari-hari. Aku juga sering meminta saran dan
curhatan dari dia.
“Untuk
membeli peralatan bayi yang murah di mana ya mas ?” tanyaku kepada Mas Agus.
“Sebelah
pasar, Yud. Di sana ada toko yang menjual perlengkapan bayi. Mosok toko dekat pasar saja kamu tidak
tahu ? Apa perlu aku namai toko itu dengan nama ‘Toko Yudi’?” sambil bercanda
dia menjawab pertanyaanku dengan ramah.
Tepat
pukul lima, bel perusahaan berbunyi dengan suara lantang, yang menandakan akhir
kerja di hari itu. “Menyenangkan sekali hari ini, walaupun aku sangat capek.”
itulah kira-kira kata-kata yang ada di dalam pikiranku setelah seharian penuh
bekerja. Kuambil motorku di parkiran dan menuju pulang ke rumah untuk menemui
istri dan anak-anakku.
Empat
hari berlalu, saat aku sampai di tempat kerjaku, ada suasana yang tidak biasa.
Ada orang-orang, termasuk bosku yang biasanya lebih awal aku daripada dia,
sedang lalu lalang mengangkut sesuatu yang kelihatannya barang canggih,
berbentuk seperti robot. “Kok tidak
seperti biasanya ya ?” pikirku. Aku mencoba menyalami sekaligus bertanya kepada
bosku tentang apa yang sedang terjadi.
“Nuwun sewu bos, ini ada apa ya ? Ada
barang baru ya bos ? Tapi kok banyak sekali jumlahnya ?” kutanya bos setelah
aku menyalaminya.
“Gini, ada yang ingin kubicarakan padamu,
Yudi” jawabnya dengan ekspresi yang sangat serius kali ini dan membuatku
penasaran.
Aku
langsung protes seketika, setelah bosku menjelaskan bahwa dia memecatku.
Emosiku sempat meluap, tetapi petugas keamanan langsung menyeretku menjauh dari
yang sekarang menjadi mantan bosku. Apa yang salah denganku ? Apakah aku
melakukan kesalahan, sehingga aku harus dipecat ? Apakah aku pernah menyakiti
perasaan bosku ? Sampai-sampai aku mau menabrak seseorang ketika perjalanan
pulang karena hal ini. Lalu bagaimana harus kuceritakan kepada istriku masalah
ini ? Bagaimana pula nasib kehidupan keluargaku ? Lantas, di mana lagi aku
harus bekerja ?
Hal
yang kualami ternyata dialami oleh rekan-rekan OB yang ada di perusahaan itu.
Mereka semua dipecat. Aku terheran-heran, kukira hanya aku yang dipecat, namun
semua OB juga dipecat. Aneh saja, ketika tiba-tiba hari itu bos langsung
memecat semua OB. Kusnandar, Rinda, Mas Agus, dan juga Andi juga punya
kehidupan dan keluarga di rumah. Dari mana mereka akan mendapatkan penghasilan
? Lha wong perusahaan juga tidak
memberi solusi untuk bekerja di mana setelah ini, apalagi memberi uang pesangon
setelah dipecat begitu saja. Rekan-rekan OB dan aku mengira bahwa mantan bos
kami mempunyai sifat yang baik dan peduli bagi karyawan-karyawan yang bekerja di
perusahaannya. Nyatanya justru malah sebaliknya. Hanya pada saat membutuhkan
saja dia berperangai baik. Seolah-olah dia memperhatikan nasib dan keadaan para
karyawannya. Jujur saja aku geram dan jengkel terhadap perlakuan dan keputusan
yang diambil oleh mantan bos kami.
“Jujur
saja. Seandainya tidak ada robot-robot itu, pasti kita masih bisa bekerja
dengan seperti biasa” jelasku kepada teman-temanku yang mantan OB.
“Aku
setuju denganmu, Yud. Tapi mau bagaimana lagi, sekarang jamannya sudah maju,
serba modern, serba canggih” balas Rinda dengan mantap.
“Lantas
kita harus bekerja di mana lagi ? Aku sudah cari lowongan-lowongan pekerjaan di
koran-koran dan di majalah-majalah, tetapi persyaratannya terlalu sulit.
Minimal harus mempunyai gelar S1 atau D3 dulu” Andi bertanya sekaligus
memberikan informasi.
“Apa
? S1 ? Aku saja SMA tidak tamat, bagaimana bisa kalau perusahaan-perusahaan
membutuhkan calon karyawan yang memiliki gelar minimal S1 ?” Kusnandar bertanya
dengan ekspresi jengkel.
“Nah,
kalau begitu begini saja. Kita kumpulkan semua teman-teman kita yang dipecat
oleh perusahaan, kemudian kita harus membahas soal ini. Kita harus bergerak dan
jangan sampai diam saja. Soalnya ini masalah hak kehidupan para karyawan, yang
seenaknya saja digantikan oleh mesin-mesin kaleng busuk itu. Kita harus
bergerak !” saran dari Mas Agus yang langsung membuat semuanya
terangguk-angguk.
“Tunggu
sebentar, Mas. Aku punya ide bagus dari perkataanmu itu. Bagaimana kalau kita
mendirikan saja lapangan pekerjaan sendiri, untuk masalah dananya kita bisa
mengajukan ke sponsor-sponsor ataupun sukarelawan dengan embel-embel hak
kehidupan para karyawan yang ditindas oleh robot-robot pengganti kita itu.
Bagaimana ?” kujelaskan ideku kepada teman-teman sambil mencoret-coret kertas, seolah-olah
merupakan cerminan dari apa yang aku jelaskan tadi.
“Bagaimana
jika rencanamu itu tidak berhasil ? Malah kita nanti yang dicurigai oleh polisi
sebagai gerakan yang merugikan Negara.” Kusnandar merespon.
“Kita
jalankan rencana B. Kita bawa teman-teman seperjuangan kita. Lalu turun ke
jalan.” jawabku dengan nada sungguh-sungguh.
“Kutu kupret, menjijikkan sekali,
seharusnya bangkai tikus itu disingkirkan dari tengah jalan” entah kenapa aku
mengatakan seperti itu di dalam pikiranku.